Pengajian PCIM Dunia bersama Haedar Nashir dan Siti Noordjannah Djohantini

Tabligh Akbar Ketum

Dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan 1441 H, Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) dan Pimpinan Cabang Istimewa ‘Aisyiyah (PCIA) Dunia menyelenggarakan Tabligh Akbar dengan tema “Reorientasi Kemanusiaan Semesta”. Materi disampaikan langsung oleh Prof. Dr. Haedar Nashir, M. Si selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Dra. Siti Noordjannah Djohantini, M. Si, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah pada Rabu, 22 April 2020.

Acara pengajian daring itu di prakarsai oleh tiga PCIM, yakni PCIM Australia, PCIM Malaysia dan PCIM Taiwan. Dipandu oleh ketua PCIM Malaysia Sonny Zulhuda, pengajian yang ditayangkan langsung melalui channel Youtube dan Facebook itu diakses oleh lebih dari 300 orang dari lima benua saat acara berlangsung.

Di awal pengajian Ketua Umum PP Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah menyempatkan untuk menyapa dan ngobrol singkat dengan para pimpinan PCIM-PCIA yang hadir termasuk dari USA, Australia, Malaysia, Taiwan, Jepang, Turki, Jerman, Maroko, Sudan, Yordania, Mesir dan Arab Saudi. Masing-masing perwakilan menyampaikan secara singkat perkembangan PCIM/PCIA di tempatnya dan juga aktivitas gerakan krisis Covid yang dijalankan.

Ketika ditanya oleh moderator pengajian Sonny Zulhuda tentang kebiasaan baru di masa lockdown ini, Bunda Noordjannah menceritakan bahwa Prof Haedar kini sering masak di rumah.

“Yang paling sering adalah memasak nasi goreng dan sayur kangkung, Mas Sonny. Tapi masalahnya kalau ditanya lagi apa bumbunya, nanti beda lagi.” Demikian Ibu Ketua Umum tersebut menyampaikan sambil berjenaka.

Dilaporkan oleh Suara Muhammadiyah Online, Haedar Nashir menyampaikan bahwa Muhammadiyah dalam kirprahnya di masyarakat tidak cukup hanya dengan slogan. Muhammadiyah terus berjuang di berbagai bidang kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi agar umat Islam naik kepada tingkat yang lebih tinggi dalam aspek Khairul Ummah (umat terbaik).

Dalam situasi seperti ini, Muhammadiyah mulai berpikir jangka panjang karena situasi sosial masyarakat yang berubah secara signifikan. “Semangat inklusifitas kemanusiaan Muhammadiyah perlu mempelopori relasi sosial baru dimana nilai-nilai agama bisa menjadi humanisme kolektif yang saling tawasuth dalam perbedaan serta tasamuh. Hal ini perlu menjadi agenda Muhammadiyah ke depan,” ujarnya.

Siti Noordjannah Djohantini mengungkapkan bahwa dalam konteks menuju keluarga sakinah, situasi lockdown ini dapat menjadi momentum besar untuk mendekatkan serta mempererat hubungan dan kehangatan antara masing-masing anggota keluarga. Dalam mewujudkan keluarga sakinah, setiap anggota keluarga memiliki peran dan andil yang berbeda-beda.

Pada subtansinya, keluarga sakinah adalah keluarga yang diharapkan mampu menumbuhkan nilai-nilai keagamaan, bersemainya kehidupan yang damai, dapat memberikan maslahat kepada lingkungan masyarakat, memperkokoh keimanan, sehingga darinya akan terpancar kebaikan dalam kehidupan dan pergaulan secara luas. “Dalam laboraturium lockdown ini, kita harus memiliki praktek-praktek baru dalam mewujudkan kemaslahatan keluarga dan umat,” paparnya.

Sementara itu PP Muhammadiyah juga melaporkan kegiatan tersebut di media website resminya http://www.muhammadiyah.or.id.

Haedar menegaskan bahwa Islam di tengah seperti ini mestinya hadir untuk menawarkan teologi yang solutif dan inklusif. Namun Haedar juga mengingatkan agar jangan sampai meniru konstruksi cara pikir agama pada abad pertengahan sebagai cara pandangan menghadapi realitas modern saat ini. Sekularisme yang merupakan produk otentik peradaban Barat paska pencerahan telah menghilangkan aspek spiritual sehingga Islam memiliki momentum untuk mengisi kekosongan tersebut.

“Ketika sistem modern saat ini sedang krisis lalu tiba-tiba kita melompat lagi menawarkan Islam yang ingin kembali, yang sesungguhnya artifisial sekali seperti cara minum, cara berpakaian, atau hal-hal yang kecil dan yang secara politik, Islamisme yang hadir pada abad ke-7 masehi. Intinya jangan tiru agama abad tengah yang ada di Barat karena sudah didekonstruksi oleh sistem pencerahan,” tutur Haedar.

Muhammadiyah sebagai basis massa Islam terbesar di dunia, kata Haedar, penting untuk menjadi pioneer yang melakukan reorientasi terhadap sistme-sistem yang ada. Peradaban Barat yang sarat dengan positivistime memberi dampak pada hasrat manusia yang lebih mementingkan kemajuan teknologi dan rasionalisasi. Akibatnya, muncul segregasi kepemilikan sumber daya alam yang harus dibayar mahal dengan ketimpangan ekologi.Bagi Haedar, apa yang ada dalam Manhaj Tarjih seperti pendekatan bayani, burhani, dan irfani harus menjadi keniscayaan sebagai konstruksi pemikiran keislaman untuk ditawarkan menghadapi dunia yang krisis ini.

“Trilogi pendekatan bayani, burhani, dan irfani akan adaptif, kompatibel, dinamis, dan mampu berdialog dengan modernisme abad ke-21.Tetapi kalau misalkan kader Muhammadiyah menawarkan Islam dengan sistem yang lain, justru tidak akan menjadi solusi yang menawarkan rahmatan lil alamin,” jelasnya.

Di saat krisis dari berbagai dimensi yang saat ini dirasakan di seluruh dunia, solusi paling nyata memang harus menghadirkan Tuhan dalam realitas kehidupan. Menurut Haedar, selama berabad-abad Tuhan dinegasikan terutama oleh orang-orang sekularis, dan kaum humanisme-sekular. Tapi, lagi-lagi, Tuhan yang kita hadirkan dalam konteks pemikiran kosmlogoi keagamaan, adalah konsep Tuhan yang kasih dan penyayang, dan menjadi solusi. Karena itu, penting untuk menekankan trilogi pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam sistem berpikir warga Muhammadiyah umumnya umat Islam.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s