Bank Syariah = Arabisasi Bank?

Oleh: Irfan Syauqi Beik*

Dalam sebuah forum milis para penggiat Masyarakat Ekonomi Syariah belum lama ini, muncul sebuah perdebatan hangat tentang praktek institusi ekonomi syariah yang oleh sebagian kalangan di anggap belum 100 persen sesuai syariah karena masih mengandung unsur eksploitasi. Muncul pro dan kontra yang disertai argumentasi masing-masing. Kemudian di sisi lain, tokoh JIL Ulil Abshar Abdalla juga menuding ekonomi syariah sebagai proses “Arabisasi” terminologi ekonomi, sementara secara substansial tidak ada bedanya. Kondisi ini perlu mendapat perhatian, karena akan menimbulkan persepsi yang salah terhadap ekonomi syariah jika tidak ditanggapi dengan baik.

Wasail dan Maqashid

Menurut penulis, salah satu penyebab utama munculnya stigma tersebut adalah akibat kurang dipahaminya tujuan dari ekonomi syariah itu sendiri, yang bersumber dari tujuan syariah secara umum (maqashid syariah). Dalam ajaran Islam dikenal istilah wasail (jamak dari washilah, yaitu alat atau media) dan maqashid (jamak dari maqshud, yaitu tujuan yang hendak dicapai).

Keduanya memiliki keterikatan antara satu dengan lainnya. Pemisahan kedua konsep tersebut akan mengakibatkan kesalahan pemahaman dan aplikasinya. Misalnya, shalat adalah washilah untuk mencapai maqshud mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. Jika keduanya dipisah, akan berbahaya.

Orang yang lebih berorientasi pada maqshud akan menganggap bahwa jika kita telah mampu mengendalikan diri dari perbuatan keji dan mungkar, maka tidak perlu melaksanakan shalat. Sebaliknya, orang yang washilah-oriented akan melaksanakan shalat sekedar untuk melepaskan diri dari kewajiban, sehingga tidak ada dampaknya terhadap perilaku sesudah shalat. Wajarlah jika kemudian muncul fenomena “shalat jalan, maksiat jalan”. Ada paradoks di dalamnya karena ia tidak memahami hakikat shalat yang benar dan khusyu.

Inilah yang barangkali menjadi tantangan dunia ekonomi syariah saat ini, yaitu bagaimana mensinergikan antara wasail dengan maqashid. Secara fiqh benar, dan secara tujuan syariat tercapai. Jika ekonomi syariah hanya berorientasi pada wasail, maka ia akan memandang segala praktek yang ada dari sudut pandang fiqh semata. Sifatnya hanya boleh atau tidak boleh. Sementara aspek kemaslahatan dan tujuan yang lebih besar menjadi kurang diperhatikan.

Sebaliknya, jika ekonomi syariah hanya berorientasi pada maqashid dan mengabaikan wasail, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan penyimpangan pada sisi prakteknya dengan dalih demi kepentingan dan kemaslahatan bersama. Karena itu, integrasi wasail dan maqashid menjadi sebuah kebutuhan yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi syariah ke depan.

Tiga Tujuan Syariah

Menurut Prof Hashim Kamali, paling tidak ada tiga tujuan syariah yang hendak dicapai, yaitu edukasi individual (tahdibul fard), keadilan (‘adalah), dan kemaslahatan publik (al-maslahah al-‘ammah). Segala yang disyariatkan Allah SWT akan bermuara kepada tiga tujuan tersebut, sehingga memahami ketiganya merupakan sebuah keniscayaan. Demikian pula dengan maqashid ekonomi syariah, tidak bisa dilepaskan dari ketiga tujuan tersebut.

Dalam kaitan dengan tahdibul fard, masyarakat harus diberikan pemahaman mengenai alasan disyariatkannya sesuatu. Harapannya akan muncul kesadaran dan kebutuhan untuk melaksanakan syariat agama, karena ia berangkat dari pemahaman yang benar. Pada konteks ekonomi, adalah hal yang sangat urgen untuk memberikan pemahaman tentang kenapa Allah dan Rasul-Nya membuat rambu-rambu dan prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh umat Islam dalam menjalankan aktivitas ekonominya.

Sebagai contoh adalah ibadah ZISWAF (zakat, infak, shadaqah dan wakaf). Penulis melihat ada tiga dimensi maqashid dari disyariatkannya ibadah ZISWAF, yaitu dimensi spiritual personal, dimensi spiritual sosial, dan dimensi ekonomi. Pada dimensi spiritual personal, ibadah ZISWAF ini akan melahirkan pribadi-pribadi yang memiliki jiwa dan raga yang bersih dan suci (QS 9 : 103). Ibadah ini juga akan menciptakan etika bisnis yang benar, dimana kita hanya akan berusaha mencari rezeki yang halal. Allah SWT tidak akan menerima ZIS yang mengandung unsur tipu daya (HR Muslim). Sifat-sifat buruk, seperti bakhil, egois, tidak peduli sesama, cinta harta secara berlebihan, dan sebagainya, akan dapat dikikis secara bertahap. Yang muncul adalah keberkahan hidup.

Sedangkan secara spiritual sosial, ibadah ZISWAF akan melahirkan soliditas dan ukhuwah yang sangat kokoh (QS 9 : 71). Sehingga akan muncul kebersamaan yang kuat di antara komponen umat dan bangsa. Kebersamaan ini merupakan modal sosial yang sangat penting di dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, pelaksanaan ibadah ini akan menciptakan keamanan sosial yang lebih baik.

Sementara secara ekonomi, ZISWAF yang dikelola dengan benar, akan dapat mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan. Riset penulis ketika mengevaluasi kinerja pendayagunaan zakat BAZNAS di DKI Jakarta menunjukkan bahwa program BAZNAS mampu meningkatkan proporsi pendapatan kelompok 40 persen termiskin masyarakat mustahik sebesar 1,30 %. Kesenjangan antara kelompok terbawah 40 persen dan teratas 20 persen dapat diturunkan sebesar 0,286% berdasarkan indeks Gini. Sedangkan jumlah kemiskinan mustahik dapat dikurangi 7,7 % dan tingkat kedalaman kemiskinan berkurang 13,05 % (Beik, 2010).

Selain itu, ZISWAF ini bisa menjadi sumber pendanaan pembangunan, sekaligus mendorong peningkatan produktivitas perekonomian. Melindungi dan membela kaum dhuafa sama dengan mengundang pertolongan dan rezeki dari Allah SWT (al-hadits). Jika saja masyarakat memahami maqashid ini, penulis yakin bahwa mereka secara sadar dan sengaja akan menjadikan kebiasaan ber-ZISWAF sebagai bagian dari gaya hidup mereka.

Contoh lain, praktek pembiayaan murabahah, yang hingga saat ini mendominasi praktek perbankan syariah di tanah air. Murabahah mensyaratkan adanya transparansi harga pokok pembelian. Besarnya marjin profit ditentukan oleh proses negosiasi antara pembeli dan penjual. Ini menunjukkan bahwa dalam praktek murabahah, ada maqashid yang ingin dicapai selain sekedar jual beli biasa. Yaitu transparansi, keterbukaan, dan saling memahami kondisi masing-masing. Bank memahami kondisi nasabah, dan nasabah pun memahami keadaan bank. Sehingga, unsur-unsur akhlak Islami akan nampak terlihat ketika menentukan berapa marjin profit yang harus dibayar oleh nasabah. Karena itu, kalau dalam praktek perbankan syariah tidak muncul hal tersebut, maka secara maqashid, belum seratus persen tercapai.

Demikian pula dengan musyarakah, yang mencerminkan adanya semangat untuk berbagi, baik berbagi hasil keuntungan maupun resiko kerugian. Ada maqashid lain yang ingin dicapai selain dari proses yang berorientasi bisnis semata. Yaitu kebersamaan, persaudaraan, dan kepercayaan. Termasuk pula unsur keadilan di dalam berbagi beban dan tanggung jawab. Inilah universal values yang ingin diajarkan oleh ajaran Islam melalui transaksi-transaksi muamalah yang ada. Jadi hubungan yang muncul bersifat multidimensional, mencakup dimensi bisnis, sosial kemanusiaan, dan keadilan.

Ketika maqashid ini dilanggar, maka akan muncul deviasi dan ekses buruk. Mulai dari munculnya persepsi negatif terhadap ekonomi syariah hingga munculnya eksploitasi dari satu pihak kepada pihak yang lain. Karena itu, agar hal tersebut tidak terjadi, maka keberadaan maqashid yang lain, yaitu keadilan (‘adalah) dan kemaslahatan publik (al-maslahah) , harus menjadi bagian yang integral. Keduanya harus menjadi framework yang memperkuat praktek ekonomi syariah.

Dengan bingkai keadilan, maka penentuan marjin profit murabahah atau rasio bagi hasil mudarabah/musyaraka h akan menguntungkan pihak bank dan nasabah. Tidak ada pihak yang akan dizalimi. Sedangkan dengan bingkai kemaslahatan publik, maka keberadaan bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi seluruh lapisan masyarakat, di samping memberi keuntungan ekonomis kepada pelakunya. Inilah yang harus kita kerjakan bersama, yaitu bagaimana mengaplikasikan maqashid ekonomi syariah ini dalam tataran yang lebih riil, sehingga praktek ekonomi syariah yang sudah baik ini menjadi lebih baik lagi. Wallahu’alam.

*Dosen FEM IPB dan Kandidat Doktor IIU Malaysia

(Judul asli artikel: ‘Memahami maqashid ekonomi syariah,’ diterbitan di Majalah Hidayatullah edisi April 2010).

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s