Ibadah Memuliakan Tamu

Oleh: M. Arifin Ismail

“Dan mereka itu  telah mendahulukan kepentingan yang lain daripada diri mereka sendiri“  (Surah al hasyr/59:9).

Dalam suatu majlis ilmu, Rasulullah saw bersabda kepada sahabatnya: “Siapa yang melayani tamu pada  maka dia akan segera mendapat rahmat Allah.“ Seorang sahabat nabi setelah mendengar penjelasan tersebut  segera pulang ke rumahnya sambil  mengajak sahabat yang lain untuk datang bertamu ke rumahnya.

Setibanya di rumah dia bertanya kepada isterinya: apakah kita memiliki sesuatu untuk tamu ? Istri menjawab : “ tidak ada, sebab makanan yang ada hanya cukup untuk keperluan anak-anak kita saja“.

Suami kemudian melanjutkan :  Aku tadi telah mengajak seseorang kawan untuk datang ke rumah pada malam ini, sebab aku mendengar nabi bersabda bahwa siapa yang melayani tamu maka dia mendapat rahmat Allah. Jika tamu itu datang,  kita wajib memuliakannya dan memberi makanan kepadanya. Jika demikian, maka segera ajaklah anak-anak kita itu untuk tidur dahulu, dan nanti sewaktu tamu itu datang, hidangkanlah makanan di hadapannya. Dan ingat, sewaktu mereka sedang makan, gelapkan ruangan tersebut ( agar tamu tidak mengetahui bahwa tuan rumah tidak makan, sebab makanan tidak cukup, tetapi kita hanya berpura-pura makan ).

Di waktu pagi hari, keesokan harinya rasululah berkata kepada sahabat tadi : ” Allah Taala telah ta’ajub dengan perbuatakan kamu tadi malam, sebab kamu telah mendahulukan tamu dalam makanan daripada dirimu dan keluargamu ( riwayat Muslim ) . Akibat dari  perbuatan sahabat yang telah mendahulukan makanan untuk tamu daripada makan untuk anak, isteri dan dirinya sendiri maka turunlah ayat Al Quran yang memuji sikap sahabat yang telah memuliakan tamu lebih daripada dirinya sendiri tersebut : “ Dan mereka itu (  sikap sahabat nabi tersebut dalam menerima tamu tersebut) telah mendahulukan kepentingan yang lain daripada diri mereka sendiri “ ( Surah al hasyr/59 : 9 ).

Dari peristiwa diatas dapat dilihat, bahwa melayani dan memuliakan tamu yang datang ke rumah merupakjan ibadah. Oleh sebab itu nabi  pernah menegur sahabatnya Abdullah bin Umar yang sibuk beribadah ritual saja, tetapi melupakan kewajiban kepada jiran dan tamu. Sahabat Abdullah bin Umar menceritakan  bahwa Rasululah datang kepadanya dan bertanya : Apakah kamu hanya sibuk shalat malam dan puasa di siang hari ? Benar ya rasulullah. Rasul bersabda ; Janganlah engkau lakukan seperti itu, tetapi lakukan shalat, dan tidurlah, berpuasa dan berbuka, sebab engkau mempunyai kewajiban terhadap  badan , kewajiban terhadap  mata engkau, kewajiban untuk berziarah  kawan dan melayani tamu , juga ada kewajiban kepada bagi isteri ( hadis riwayat Bukhari ).

Dari hadis diataas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang muslim yang baik, bukanlah seorang muslim yang hanya sibuk berzikir, beribadah shalat, tetapi lupa dengan kewajiban kepada istri, kepada tetangga atau kepada tamu; sebab seorang muslim mempunyai kewajiban dalam setiap kondisi dan situasi. Seorang muslim yang taat adalah muslim yang dapat menunaikan segala kewajiban baik kewajiban ritual, maupun kewajiban terhadap diri sendiri, kewajiban terhadap keluarga, kewajiban terhadap tetangga, sampai kewajiban untuk melayani tamu. Jika seorang muslim taat beribadah, tetapi lalai kepada jiran , kawan, saudara dekat, dan tamu, berarti dia mendapat pahala sebab taat hanya dalam ibadah, tetapi dia berdosa sebab meninggalkan kewajiban sosial yang diperintahkan kepadanya.

Oleh sebab itu dalam ajaran Islam, melayani tamu merupakan tanda orang yang beriman, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis : “ Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah dia memuliakan tamu yang datang kepadanya, dan hendaklah dia menhubungkan silaturahim dan hendaklah dia berkata yang baik atau diam “. ( Bukhari Muslim ) Menurut Ulama,  maksud memuliakan tamu :adalah : merasa gembira dengan kedatangannya, dan si tamu merasa gembira baik dalam penyambutan, alam pembicaraan dan dengan makanan.

Sebab berkunjung dan bersilaturahmi kepada jiran tetanga, dan melayani tamu merupakan ibadah, maka sahabat nabi sangat gemar melakukannya, sehingga sayidina Ali bin Abi Thalib merasa sedih jika dalam satu minggu tidak ada orang yang datang berkunjung ke rumahnya. Kesedihan tersebut disebabkan dia rugi tidak mendapat pahala melaksanakan kewajiban untuk melayani tamu dalam minggu tersebut, walaupun dia telah melaksanakan kewajiban ritual lainnya.

Pernah suatu hari Rasulullah saw, Abubakar Shiddiq dan Umar bin Khattab menuju rumah Abul Haisam bin Taihan dan Abu Ayyub Anshari untuk mendapatkan makanan yang akan dimakan. Mereka (nabi dan sahabat ) melakukan hal demikian sebab ingin menolong kawannya untuk mendapatkan pahala melayani tamu dan memberi makan kepada orang lain. Perbuatan seperti ini merupakan tradisi, sunnah sahabat dan ulama-ulama salaf terdahulu.

Oleh sebab itu setiap orang dalam masyarakat muslim terdahulu berlomba-lomba untuk saling mengunjungi saudara dan kawannya yang lain. Aun bin Abdulah al Mas’udi mempunyai tiga ratus enam puluh kawan. Setiap hari dia mendatangi rumah kawannya satu persatu, sehingga dalam setahun semua kawannya dapat dikunjunginya untuk mendapatkan pahala berkunjung, dan memberikan pahala melayani tamu kepada kawan-kawannya tersebut.

Ada lagi sahabat nabi yang melakukan kunjungan ke rumah kawannya setiap bulan sekali, dan ada  lagi yang melakukannya dalam setiap minggu. Tujuan mereka dalam berkunjung tadi, adalah untuk melaksanakan kewajiban berkunjung, dan juga memberikan pahala kepada kawannya untuk menunaikan kewajiban ibadah melayani tamu.

Sahabat sangat bergembira jika rumahnya didatangi oleh saudara dan kawannya, sebab mereka diberiu peluang untuk beribadah melayani tamu, sehingga terjadi pada suatu hari Muhammad bin Wasi’ datang ke rumah Hasan al Basry, dan ternyata si tuan rumah sedang keluar. Mereka segera masuk ke dalam rumah dan mengambil makananan dengan keyakinan bahwa tuan rumah pasti memberikan izin kepada mereka untuk mencicipi makanan tersebut. Tak lama Hasan datang, dan melihat perbuatan kawan-kawannya yang telah makan tersebut. Dia merasa gembira dan berkata : ” Inilah budaya dan tradisi kita sepatutnya ”.

Demikian juga dalam sejarah tercatat bahwa sebagian Tabiin (pengikut sahabat ) datang ke rumah tabi’in yang lain, tetapi mereka tidak berjumpa dengan tuan rumah tersebut. Tamu tabiin tadi segera masuk ke rumah, terus ke dapaur melihat apa yang ada dan segera memakan makanan yang ada, dan pulang. Tak lama tabiin yang punya rumah datang dan melihat makanan sudah habis, dan dia bertanya kepada pembantu di rumahnya. Pembantu menjawab bahwa makanan itu telah dihabiskan oleh kawan tuan yang datang ke rumah.

Mendengar cerita pembantu tadi, si tabiin punya rumah bersyukur dan berkata kepada pembantunya : ” Mereka telah berbuat baik kepadaku ( sebab mereka telah memberikan pahala memberi makan kepadaku ), dann nanti jika ada lagi kawan yang dtaang walaupun saya tidak dirumah, maka berikanlah makanan kepada mereka”.

Serombongan orang datang ke rumah tabiin Sofyan as Sauri, dan pada waktu itu Sofyan tidak ada di rumah. Mereka segera membuka pintu, segera duduk dan mencicipi makanan yang ada dalam rumah tersebut. Tak lama kemudian, Sofyan alSauri datang dan melihat kawan-kawannya sudah berada di dalam rumah sedang mengunyah makanan dengan lahapnya, dan Sofyan Sauri berkata : ” Alhamdulillah, sikap kalian ini mengingatkan aku kepada sunnah orang-orang terdahulu, para sahabat, dan generasi salaf terdahulu ”.

Generasi salaf terdahulu sangat suka berkunjung ke rumah kawan untuk memberikan kesempatan berpahala melayani tamu. Bagi mereka melayani tamu, memberi makan kepada orang yang datang ke rumah mereka merupakan ibadah, bukan merupakan beban.

Tetapi sangat disayangkan, banyak orang sekarang merasa bahwa gara – gara tamu atau melayani tamu dapat mengganggu ibadah ritual, malahan kadang-kadang ada orang yang menyangka bahwa itu perbuatan yang merepotkan dan menjadi beban, sehingga merasa lebih senang jika di rumahnya tidak ada tamu, padahal dalam islam, melayani tamu merupakan ibadah yang mulia.

Tanpa sadar, budaya metropolitan, budaya kesibukan kerja, budaya ibadah ritual telah melupakan kita kepada budaya berkunjung dan melayani tamu yang menjadi sunnah nabi, tradisi sahabat nabi,  dan budaya para ulama salaf terdahulu. Mari kita galakkan budaya berkunjung dan melayani tamu, karena itu semua merupakan ibadah. Fa’tabiru ya Ulil albab. ( Muhammad Arifin Ismail )

1 Comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s