Muhammadiyah dan PPI-UM Kuala Lumpur Gelar Pengajian
Dalam rangka membangun sebuah peradaban Islam yang cerah, tingkat kreatifitas berfikir seorang muslim adalah salah satu perkara yang penting dan perlu digalakan. Namun, sebelum menekuni bidang pemikiran ini, seseorang mesti memperhatikan pondasi-pondasinya terlebih dahulu, seperti aqidah Islam yang mantap, menguasai keilmuan yang maksimal dan pengalaman yang luas.
Sehingga dengan begitu, produk-produk dari kegiatan pemikirannya selalu berpihak kepada cahaya kebenaran, tidak keluar dari semangat Islam dan mampu membangkitkan energi yang membawa manfaat dan kemaslahatan bagi semesta alam ini, terutama bagi umat manusia.
Demikianlah intisari yang dapat disimpulkan dari sebuah acara pengajian bulanan Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah Kuala Lumpur Sentral (PRIM-KLS) yang diadakan secara kerjasama dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI-UM) Malaysia yang berlangsung pada hari Ahad, 18 April 2010 yang lalu, di Auditorium IPS Universitas Malaya.
Acara pengajian ini dihadiri oleh kalangan mahasiswa dan mahasiswi Indonesia di UM (S1, S2 dan S3), dosen dari tanah air, dan warga Indonesia yang sedang bekerja di sekitar bandar Kuala Lumpur.
Pengajian yang dilengkapi dengan forum tanya jawab ini mengangkat tema: “Tantangan Kontemporer Bagi Ormas Islam”. Adapun pembicaranya, panitia menghadirkan ustaz M. Arifin Ismail, M.A., dan Prof. Dr. Susiknan Azhari, M.A. Keduanya adalah tokoh-tokoh yang masih aktif dan produktif di dunia pendidikan. Prof. Dr. Susiknan sendiri adalah seorang yang masih aktif di internal kepengurusan PP Muhammadiyah, yaitu sebagai sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Kebetulan, saat ini beliau sedang mengemban tugas akademisi sebagai Visiting Professor di Universitas Malaya (UM).
Isu-isu Pemikiran di Indonesia
Acara pengajian diawali dengan materi utama yang disampaikan oleh ustaz Arifin Ismail. Dalam ceramahnya, beliau lebih fokus membahas isu-isu kegiatan pemikiran di Indonesia, seperti isu-isu pemikiran yang sedang dikembangkan dan dipertahankan oleh tokoh-tokoh aliran Islam liberalisme, sekularisme dan pluralisme.
Produk-produk pemikiran mereka dipandangnya sebagai hasil pemikiran yang telah terkontaminasi oleh produk-produk pemikiran Barat yang tentunya banyak bertentangan dengan perkara-perkara yang sudah mapan dalam Islam. Contohnya, paham tentang pluralisme agama, dimana salah seorang tokohnya mengatakan: “Satu Tuhan untuk semua agama”, “semua agama adalah sama”, “semua agama masuk surga” dan isu-isu pemikiran lainnya.
Mengenai isu-isu pemikiran seperti di atas, ustaz Arifin Ismail menilai, bahawa paham pemikiran tersebut jelas-jelas bertentangan dengan keyakinan atau aqidah Islam yang selama ini diyakini oleh mayoritas umat Islam dari masa kemasa. Bertentangan dengan ajaran Islam yang telah dijelaskan secara terang dan rinci dalam nash al-Qur’an ataupun al-hadits. Demikianlah keterangannya yang didukung dengan dalil-dalil yang diambil dari al-Qur’an dan hadits Nabi s.a.w.
Krisis Pemikiran sebagai Tantangan Besar Umat Islam
Nampaknya, ustaz Arifin sependapat dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Hamid Fahmi, dalam bukunya yang berjudul: Liberalisasi Pemikiran Islam, yang mengatakan: “tantangan mendasar yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini sebenarnya bukan berupa ekonomi, politik, sosial dan budaya, tetapi tantangan pemikiran. Tantangan pemikiran itu bersifat internal dan eksternal sekaligus.
Tantangan internal yang telah lama disadari adalah masalah kejumudan, fanatisme, taklid, bid’ah, dan khurafat. Sedangkan tantangan eksternal adalah masuknya paham, konsep, sistem dan cara pandang asing (baca: Barat) seperti: liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, relativisme dan kesetaraan gender, dan sejenisnya ke dalam pemikiran keagamaan umat Islam. Akibatnya, terjadi pencampuran konsep-konsep asing ke dalam pemikiran dan kehidupan umat Islam, sehingga kerancuan berfikir dan kebingungan intelektual tidak dapat dielakkan lagi”.
Part of Solution
Sebagai solusi menghadapi masalah di atas, ustaz Arifin menyarankan agar ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia mampu mempersiapkan kader-kader pemimpin umat yang benar-benar dapat memahami Islam secara baik dan universal. Disamping lembaga-lembaga pendidikan dan pesantren, ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU mesti mendorong kadernya untuk lebih aktif, kreatif dan inovatif dalam dunia pemikiran yang positif, yang dapat membendung pengaruh-pengaruh pemikiran ala Barat yang sedang dijual di tengah-tengah pasar komunitas masyarakat Islam.
Tantangan Umat Cukup Kompleks
Pengajian tambah menarik ketika Prof. DR. Susiknan Azhari memberikan ulasannya. Walaupun ulasannya disampaikan dalam waktu hanya lima menit, tetapi isinya cukup padat, dan berbobot.
Membahas tentang masalah organisasi, beliau mengawalinya dengan mengemukakan sebuah teori Institute Islamic Studies yang dipakai oleh Nur Mator Mata, yang mengatakan bahwa organisasi itu laksana makhluk hidup, punya jenis atau species yang berbeda-beda.
Di sekitar kehidupan kita ini terdapat tiga model organisasi. Pertama, organisasi bisnis. Diantara ciri organisasi ini adalah bos dan bawahan atau pegawainya sama-sama mendapat gaji. Kedua, organisasi masyarakat (ormas), cirinya adalah pimpinannya tidak digaji, sedangkan bawahannya mendapat gaji. Dan yang ketiga adalah organisasi parpol, yaitu sang pimpinannya mendapat pangkat dan jabatan, sementara bawahannya luput jabatan. Ketika kampanye, sang pimpinan parpol itu banyak mengumbar janji, tapi setelah berhasil duduk di kursi jabatan banyak diantara mereka yang justru lupa menepati janji-janjinya tersebut.
Menurutnya, Muhammadiyah adalah organisasi non profit dan modern. Cirinya berfikir kedepan. Hematnya, tantangan ormas Islam seperti Muhammadiyah sebenarnya bukan hanya masalah spritualisme dan pluralisme, tetapi tantangan itu sebenarnya cukup kompleks, seperti masalah kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, rendahnya moralitas pemimpin Negara dan lain sebagainya.
Fatwa Haram Merokok
Lebih lanjut, Guru Besar Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta itu menjelaskan, bahwa kondisi tempat tentunya mempengaruhi besar kecilnya tantangan yang dihadapi. Contoh, tantangan Muhammadiyah di Malaysia tentu berbeda dengan tantangan Muhammadiyah yang ada di daerah-daerah atau kampung-kampung di Indonesia.
Tingkat pemahaman masyarakat Islam di daerah-daerah terhadap isu-isu keagamaan yang berkembang di tanah air, pada umumnya masih minimal. Misalnya, respon masyarakat yang begitu beraneka ragam terhadap fatwa haram merokok yang belum lama ini dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Dimana tidak sedikit diantara mereka yang belum bisa menerima sepenuhnya terhadap haramnya merokok. Sebab itu tadi, pemahaman agama yang mereka miliki belum mencapai maksimal.
Menyinggung masalah kedudukan fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tentang hukum merokok haram, Prof. Dr. Susiknan memberikan penjelasan mengenai kedudukan fatwa di Muhammadiyah. Menurutnya, bahawa dalam memproduksi suatu keputusan, di Muhammadiyah dikenal tiga hal, ada yang namanya wacana, fatwa dan keputusan resmi PP Muhammadiyah. Fatwa dan keputusan resmi organisasi memiliki bobot yang berbeda. Fatwa di Muhammadiyah berbeda dengan fatwa MUI. Kedudukan fatwa di MUI bersifat mengikat semua umat Islam, sedang fatwa di Muhammadiyah sifatnya untuk menjawab atau merespon masalah-masalah atau pertanyaan-pertanya an yang berlaku di masyarakat.
Jadi, fatwa haram merokok itu baru pada tahap keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, belum menjadi keputusan resmi organisasi PP Muhammadiyah. Fatwa tersebut, tegas beliau lebih ditujukan kepada internal Muhammadiyah dan baru dibahas untuk dijadikan keputusan organisasi pada Munas Muhammadiyah 5 tahun lagi. Jadi, fatwa itu mengikat bagi internal warga Muhammadiyah dan simpatisannya yang sepaham.
Penutup: Melestarikan Forum Pengajian
Demikianlah diantara isi pengajian yang diadakan oleh Ranting Istimewa Muhammadiyah KL Sentral dan Persatuan Pelajar Indonesia UM. Pengajian ini ditutup dengan do’a bersama yang dipandu langsung ustaz Arifin. Isi do’a bersama tersebut diantaranya adalah do’a untuk kesuksesan kawan-kawan pelajar Indonesia di UM yang akan menghadapi ujian semesternya.
Melihat sambutan yang antusias dari peserta yang hadir, PRIM KLS dan PPI-UM menilai, acara pengajian seperti ini perlu untuk dilestarikan. Sebab, selain dapat membuka dan meningkatkan wawasan pengetahuan keislaman, forum pengajian seperti ini juga berpotensi besar untuk memperkuat hubungan silaturrahmi diantara anak bangsa yang sedang belajar dan merantau di negeri jiran ini.
Oleh: Imron Baehaqi (Sekretaris PRIM KL Sentral)
Ulasan berita acara ini dimuat di Hidayatullah.